Clock

Jumat, 19 Februari 2010

Kamis, 18 Februari 2010

Daftar anak pinggiran Se-Jabodetabek

1. Arena Pendidikan Budaya – Sanggar Ciliwung

(APB – SC)

APB-SC merupakan sebuah lingkungan yang secara dinamis digunakan sebagai sarana pendidikan alternatif untuk anak-anak dan remaja pinggiran di bantaran kali Ciliwung – Bukit Duri (RT. 04, 05, 06, 07, 08 / RW. 012, Kel. Bukit Duri, Kec. Tebet, Jakarta Selatan), yang diselenggarakan oleh komunitas kerja Ciliwung Merdeka.

“Kelompok Belajar”. Kegiatan yang dilaksanakan setiap hari (pukul 16.00-17.30 dan 18.30-21.00 WIB) dan didampingi para relawan “guru” pendamping secara bergiliran ini bertujuan untuk mendorong, mendinamisir, dan memperkuat proses belajar anak dan remaja di rumah terbuka “Sanggar Ciliwung” maupun dalam kelompok belajarnya masing-masing, berdasarkan metode, kurikulum dan jadual yang disepakati bersama dalam APB-SC.

“Pustaka Rakyat”. Program perpustakaan yang diselenggarakan setiap hari bersamaan dengan “kelompok belajar” ini bertujuan untuk menumbuhkan minat dan kebudayaan baca anak, remaja dan warga Bukit Duri, melalui proses pelatihan, pengelolaan, dan penggunaan perpustakaan APB-SC secara kreatif, mandiri, dan bersama.

“Bengkel Kreatif”. Penyelenggaraan program ini bertujuan untuk memberikan kesempatan, ruang, dan sarana bagi anak-anak dan remaja dalam mengembangkan ketrampilan dan kreativitas kerja seni rupa dengan dimensi ekonomisnya, melalui pelatihan-pelatihan dan workshop.

“Arena Seni Budaya”. Pendidikan seni budaya anak dan remaja melalui pementasan dan latihan apresiasi musik, tari, teater dan seni rupa ini, merupakan sarana alternatif untuk menumbuhkembangkan minat anak/remaja dalam belajar berekspresi, mengaktualisasikan rasa seni dan kemanusiaan, serta melatih kepercayaan diri, dan tanggungjawab sosialnya.

“Jelajah Dunia Kita”. Program riset aksi partisipatoris anak dan remaja ini merupakan perwujudan dan proses “pendidikan hadap masalah” APB-SC, dengan menitikberatkan tema riset pada masalah-masalah tantangan hidup sehari-hari mereka yang nyata di lingkungan Bukit Duri sendiri, masyarakat pinggiran bantaran sungai Ciliwung.

“Gelar Wacana”. Gelar perkara dalam lingkaran diskusi bersama anak dan remaja yang diselenggarakan dua bulan sekali ini, sebagai sarana latihan wicara dan penyadaran sosial bersama, terutama guna membahas hasil riset bersama dalam “Jelajah Dunia Kita”.

“Belajar Komputer”. Latihan penggunaan komputer, mengetik dan menulis keatif yang diselenggarakan secara teratur, bergiliran dan bertahap dengan pendampingan khusus dari relawan pendamping ini dijadualkan untuk semua anak dan remaja APB-SC setiap harinya.

“INSANG”. Penyelenggaraan dan pengembangan majalah dinding dan buletin dwi-wulan CM “Ciliwung Merdeka”, yang dikelola secara mandiri dan bersama oleh anak-anak dan remaja Bukit Duri minimal seminggu dua kali, sebagai sarana pendidikan jurnalistik dan media komunikasi Ciliwung Merdeka, warga Bukit Duri dan masyarakat luas.

“Kesehatan dan Lingkungan Hidup”. Program yang diselenggarakan sebulan sekali ini, bertujuan untuk mengembangkan kepekaan dan tanggung jawab terhadap kesehatan, kelestarian dan pengelolaan lingkungan hidup bersama. Program yang dijalankan dengan metode “pendidikan hadap masalah” ini dijadualkan sebulan sekali.

“Koperasi Solidaritas”. Koperasi usaha ekonomi kecil anak dan remaja yang bertujuan untuk melatih dan mengembangkan sikap swadaya melalui kebudayaan menabung, mengelola keuangan dan barang-barang kebutuhan pokok mereka secara bersama. Program yang diselenggarakan seminggu sekali ini juga dimaksudkan sebagai sarana latihan berorganisasi efektif bagi anak dan remaja Bukit Duri.

“Aksi Nurani Bersama”. Aksi solidaritas sosial anak dan remaja Bukit Duri dalam wujud kerja bakti nyata bersama membersihkan lingkungan hidup RT-RT sekitar APB-CM, memberikan bantuan darurat saat banjir, kebakaran atau penggusuran, baik di dalam maupun di luar lingkungan Bukit Duri. Kegiatan ini di selenggarakan minimal dua bulan sekali, dengan mengajak anak dan remaja yang belum jadi anggota APB-CM.

“Sehat Jiwa Raga”. Program kesehatan, olahraga dan rekreasi bersama anak-anak dan remaja, baik melalui pelatihan/praktek kerja nyata (kesehatan), maupun lomba (olahraga) dan sekedar acara rekreasi bersama di luar Bukit Duri. Program kesehatan dan olahraga minimal tiga bulan sekali. Program rekreasi bersama setahun dua kali.

“Beasiswa Swadaya”. Program beasiswa ini mengundang simpati dan tanggung jawab masyarakat untuk membantu anak-anak dan remaja Bukit Duri, terutama yang kurang mampu secara ekonomis, tetapi memiliki semangat belajar tinggi, antara lain untuk melanjutkan pendidikan di sekolah formal (bagi yang masih bersekolah) dan sekolah nonformal (bagi anak-anak yang putus sekolah). Monitoring, reporting dan controling program ini dilakukan minimal dua minggu sekali.

“Menjaring Jiwa”. Program jaringan solidaritas dan kampanye hak asasi anak dan remaja Pinggiran ini diselenggarakan dan dikembangkan minimal tiga bulan sekali, oleh anak-anak dan remaja secara mandiri dan bersama, dalam bentuk kerjasama dan persahabatan nyata dengan kelompok-kelompok pendidikan anak-anak dan remaja pinggiran di luar Bukit Duri, di samping juga membuka cakrawala pergaulan dengan masyarakat umum dalam rangka kampanye hak-hak asasi anak dan remaja pinggiran melalui berbagai media (buletin, pementasan seni budaya, dan pameran kreasi seni-rupa serta “Aksi Nurani Bersama”).

2. Komunitas Kampung Sepatan

Kampung Sepatan merupakan permukiman miskin (sekitar 1400 jiwa) yang berada di atas tanah garapan sekitar kawasan industri di daerah Cakung, tepatnya di Jl. Raya Cakung Cilincing Kampung Kesepat Malaka II RT. 003 / 05, Kel. Rorotan, Kec. Cilincing, Jakarta Utara. Pekerjaan orang tua anak-anak dampingan umumnya sebagai buruh/karyawan, wiraswasta, dagang, dll. Untuk memudahkan koordinasi warga dengan pemerintahan setampat dan jaringan kemasyarakatan, warga membentuk kepengurusan. Pendampingan dilakukan secara swadaya oleh warga seperti Karang Taruna, Ikatan Remaja Masjid (IRMAS), dan Ibu-ibu Majelis Taklim.

Berkaitan dengan usaha advokasi warga dalam menghadapi ancaman penggusuran, warga secara komunitas sempat didampingi LSM Institut Sosial Jakarta (ISJ) pada tahun 2001 – 2002, dan terkonsolidasi dalam Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA). Kegiatan anak yang telah berlangsung hanya kegiatan seni-keagamaan, seperti Marawis yang berlatih setiap malam Sabtu dan panggilan pentas setiap malam Jumat. ± 360 anak (yang sudah sekolah formal); usia Balita ada sekitar 170 anak.

3. Yayasan Peduli Antar Manusia (DUTASIA)

Yayasan DUTASIA berdiri sejak bulan Mei 2006, atas prakarsa “Radio HEART LINE” Lippo Karawaci bersama Komunitas Pendengarnya. Sebagai wujud keprihatinannya terhadap kehidupan masyarakat Kampung Bencongan-Tangerang yang miskin ditengah kehidupan masyarakat yang berada. Dalam perjalanan pengorganisasian kerjanya, gerakan kepedulian ini telah mengalami pergantian nama organisasi. Awalnya menggunakan nama SUAB (Solidaritas untuk Anak Bangsa), berubah menjadi Gerdu Aman (Gerakan Peduli Antar Manusia), hingga akhirnya menjadi Yayasan Peduli Antar Manusia (DUTASIA). Terjadinya pergantian nama organisasi beberapa kali ini, lebih karena untuk memenuhi persyaratan administratif menjadi organisasi yang berbadan hukum resmi (legal) terdaftar di Departemen Kehakiman.

Warga Kampung Bencongan, yang menjadi basis dampingan Yayasan DUTASIA, umumnya pekerja informal, seperti buruh cuci, tukang sampah, tukang becak, PRT, dll. Warga masyarakat ikut berpartisipasi aktiv dalam setiap kegiatan, seperti: pendampingan belajar, pelayanan kesehatan, Posyandu, kegiatan keagamaan, peringatan hari besar keagamaan, HUT RI, dll. Selain berkegiatan bersama Yayasan DUTASIA, anak-anak yang didampingi masih aktif belajar di sekolah formal dan bekerja membantu orang tuanya, seperti mengais sampah (pemulung), berdagang, menjadi PRT, dan pelayan toko. Jumlah anak yang didampingi Yayasan DUTASIA saat ini mencapai 130 anak, mulai dari usia 5 tahun sampai dengan 19 tahun.

Kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan Yayasan DUTASIA meliputi pendampingan belajar setiap hari (jam 8.00 – 10.00 WIB dan 15.00 – 17.00 WIB untuk SD; dan jam 20.00 – 22.00 WIB untuk SMP/SMA) kecuali hari Jumat libur, dan kegiatan keagamaan (pengajian dan perayaan hari besar). Pendampingan pendidikan bekerjasama dengan relawan-mahasiswa Universitas Pelita Harapan (UPH), dalam hal ini Teacher College (TC), untuk pendampingan belajar pelajaran IPA, IPS, Matematika, Bahasa Inggris, Komputer, Kesenian, dan Keterampilan. Untuk mendukung kepercayaan diri pada anak, juga diadakan pendidikan caracter building, sehingga anak menjadi lebih berani bertanya dan berbicara di depan orang banyak, serta berani menyampaikan pendapat di depan umum (meningkatkan daya kritis dan kepekaan pada anak). Selain pendampingan pendidikan, juga diselenggarakan Pelayanan Kesehatan bekerjasama dengan Yayasan HOPE. Tempat belajar bersama yang ada saat ini menggunakan rumah POSYANDU Kp. Bencongan, rumah Pak Martaya (Ketua Karang Taruna Kampung Bencongan), dan rumah Ibu Murni (Ketua Yayasan DUTASIA). Kegiatan pendampingan ini juga didukung oleh para mitra atau jaringan Yayasan DUTASIA, baik dari dalam maupun luar negeri. Seperti saat ini setiap hari Jumat ke-2 ada belajar bahasa Inggris bersama pengajar dari orang asing (bule). Pendampingan disini memang bukan hanya belajar pelajaran saja, tetapi bisa juga bermain dengan koleksi mainan yang lumayan berfariasi untuk merangsang potensi kreativitas anak-anak.

Yayasan DUTASIA sangat mendorong anak-anak dampingan untuk tetap belajar di sekolah formal. Jika ada kendala keuangan orang tua dalam menyekolahkan anaknya, Yayasan DUTASIA juga berusaha untuk bisa membantu biaya sekolah agar anak-anak yang bersangkutan tetap bisa melanjutkan belajar di sekolah formal. Begitu pula kalau ada anak-anak yang putus sekolah dan tidak mau melanjutkan sekolah lagi, mereka bisa belajar ketrampilan sablon dan pijat refleksi.

Rencana Yayasan DUTASIA kedepan adalah mengadakan belajar ketrampilan menjahit dan memasak untuk Ibu-ibu. Dengan harapan bisa bermanfaat langsung secara ekonomis bagi warga (menambah pendapatan ekonomi warga). Tetapi rencana ini masih terhambat dengan belum adanya tempat / rumah bersama, karena selama ini masih menumpang di rumah warga dan pendamping.

4. Ikatan Kreatif Anak Mandiri

(IKAM)

Ikatan Kreatif Anak Mandiri (IKAM) adalah merupakan sebuah harapan dari anak dampingan dalam rangka mewujudkan suatu wadah atau forum anak mandiri dengan moto “Cerdas, Trampil, dan Mandiri”. Tujuannya adalah mengembangkan minat dan bakat anak, yang dalam proses pendampingannya mengutamakan keterlibatan dan partisipasi anak secara aktiv. Fenomena anak jalanan sebetulnya sudah berkembang lama, namun belakangan ini mendapat sorotan dari berbagai kalangan masyarakat. Fenomena ini merupakan masalah yang akan selalu muncul seiring dengan pertumbuhan kota besar, sebagai akibat pembangunan yang tidak berkeadilan terhadap warganya. Hal ini disebabkan sangat kompleksnya permasalahan yang mereka hadapi.

Munculnya anak yang bekerja di jalan merupakan suatu dorongan keterpaksaan untuk memasuki usia produktif secara prematur. Sebagai anak yang seharusnya berhak memperoleh perlindungan terpaksa mengalami situasi-situasi kesulitan sosial ekonomi yang terlalu dini untuk diterima. Namun dibalik semua kesulitan yang dihadapi, ternyata mereka merasa dirinya beruntung, bebas, gembira, ceria, dan tidak ada beban pekerjaan yang mereka lakukan. Bahkan mereka bisa bebas berkreasi sesuka hati mereka dijalanan.

Oleh karena itu, Rumah Singgah Anak Jalanan dan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Bina Mandiri di bawah naungan Yayasan An-Nur Muhiyam. Merupakan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat sebagai agen perubahan (agent of change) di negeri ini yang ingin memberikan kesempatan bagi anak-anak jalanan tersebut untuk dapat menyalurkan segala kreativitas yang dimilikinya dalam partisipasi anak dampingan.

Sebagian dari anak-anak ini beraktivitas sehari-hari sebagai pengamen di bus-bus dan kereta api, dan tinggal di Rumah Singgah Insan Mandiri Yayasan An-Nur Muhiyam, Bukit Duri – Jakarta Selatan. Untuk menggali potensi, minat, dan bakat anak, maka diselenggarakan kegiatan-kegiatan pendidikan alternatif atau nonformal, Paket A, B, dan C serta pelatihan kecakapan hidup (life skills). Juga dengan menyelenggarakan even-even kegiatan diantaranya musik pengamen kerjasama dengan perguruan tinggi, seperti LPPM Universitas Atmajaya dan Universitas Persada Indonesia – YAI Fakultas Psikologi serta lembaga pemerintah dan dunia usaha.

5. Jakarta Centre for Street Children (JCSC)

- Paguyuban Anak Jalanan Jakarta -

JCSC (Jakarta Centre for Street Children / Paguyuban Anak Jalanan Jakarta) merupakan bentuk metamorfosa paling akhir, untuk saat ini, dari sebuah organisasi anak-anak jalanan. Organisasi ini merupakan upaya gerakan rakyat melawan kediktatoran dan penindasan oleh pemerintah yang mengakibatkan penderitaan rakyat miskin. Anak-anak menjadi korban yang paling menderita, hancur mental dan jiwa, lingkungan, pendidikan, juga masa depannya sehingga diperlukan sebuah alat perjuangan rakyat untuk melawan penindasan (militeristik dan kapitalistik) melalui gerakan rakyat. Bekerja sama dengan anak miskin Jabotabek sejak tahun 1999 dengan mendirikan lembaga pendampingan anak. Setelah melalui proses pengorganisasian panjang, yang berawal dari Komunitas Anak Jalanan Indonesia (KAJI), menjadi Pemberdayaan Ekonomi Anak Terpinggirkan (PEKAT), hingga akhirnya pada bulan Maret 2007 disepakati untuk membuat badan hukum organisasi anak “Jakarta Centre Sreet Children (JCSC)” yang masih berjalan hingga saat ini, berlokasi di kawasan Kampung Melayu, Jakarta Timur.

Mendampingi anak, membangun kepercayaan diri dan mandiri, bahwa mereka dapat memberikan kontribusi bagi diri sendiri dan masyarakat serta mendukung cita-cita anak hingga mencapai potensi tertinggi sebagai manusia merupakan visi, misi, dan tujuan dari organisasi ini. Anak-anak yang didampingi berasal dari keluarga miskin perkotaan karena anak-anak yang bekerja di jalan (tumbuh kembang dan lebih banyak menghabiskan waktunya di jalan dari pada di rumah bersama orang tua). Model pendampingan yang berlangsung saat ini adalah dengan Rumah Singgah yang dibangun dan dilengkapi dengan fasilitas ruang belajar/ruang latihan, kantor, bengkel kerja, perpustakaan dan ruang arsip, buku-buku, alat musik, serta alat bantu ajar tambahan.

Kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan berupa pendampingan bidang seni dan bakat, penguatan motivasi dan integrasi kemasyarakatan, serta pendidikan ekonomi dan politik. Pendampingan dilakukan dengan cara pengelompokan berdasarkan usia. Yang menjadi dasar pendampingan adalah kemandirian, belajar membuat keputusan penting untuk diri sendiri dan masa depan, lahir sebagai manusia merdeka, melawan penindasan, bertanggung jawab terhadap diri dan masyarakat. Mereka juga harus belajar dari pengalaman, terutama untuk memperbaiki hidup.

6. Kelompok Belajar Anak (KBA) “Bambu Larangan”

Kelompok Belajar Anak (KBA) di Bambu Larangan berdiri pada tanggal 26 Februari 2006. Terbentuknya kelompok belajar anak di Bambu Larangan dilatar belakangi karena adanya beberapa anak yang memerlukan pendampingan tambahan selain kegiatan di sekolahnya. Karena tidak memiliki tempat belajar lokasi belajar menggunakan lapangan bulu tangkis di Jl. Bambu Larangan Rt 07/09, Kel. Pegadungan, Jakarta Barat

Awalnya pelajaran tambahan seperti matematika, bahasa inggris, biologi, dan mata pelajaran sekolah lainnya, tapi kemudian berkembang ke materi kreatifitas seperti origami, kolase, menggambar dan musik.

Di KBA Bambu Larangan ada buku-buku bacan di perpustakaan yang difasilitasi oleh Art Eksplore lembaga pendidikan kreativitas. Buku-buku tersebut dibaca perseorangan atau berkelompok. Hasil bacaan didiskusikan baik diskusi dengan teman atau dengan pendamping. Yang didiskusikan adalah isi buku mulai dari alur cerita sampai pesan yang disampaikan.

7. Kelompok Belajar Anak (KBA) “Bilik”

Rawa Bebek merupakan pemukiman dibawah jalan tol Pluit – Bandara Soerkarno Hatta. Kampung yang dianggap illegal oleh pemerintah karena menempati lahan yang diklaim miliki Jasa Marga. Penduduknya cukup padat sekitar 3000 KK yang terbagi dalam 7 kelompok (Blok A sampai G). Pada tahun 2002 warga mendapat surat perintah bongkar (SPB) dari Pemprov. DKI Jakarta. Warga melakukan perlawanan ke Kementrian Kimpraswil yang membawahi Jasa Marga. Menteri Kimpraswil datang langsung ke lokasi dan bernegosiasi dengan warga. Akhirnya pemerintah memberi perpanjangan ijin penggunaan lahan kolong untuk pemukiman.

KBA mulai berjalan sejak tahun 2003. KBA dibentuk karena banyak anak-anak di kolong tol Rawa bebek yang putus sekolah karena tidak mampu membayar biaya sekolah. Keringanan biaya sekolah sulit didadapat karena terbentur persyaratan admmistrasi seperi KTP dan KK yang tidak dimiliki oleh sebagian besar warga kolong tol. Tepatnya KBA Bilik berada di Kolong Tol Rawa Bebek, Blok B, Penjaringan, Jakarta Utara.

Jumlah anak yang belajar awalnya 15 anak dengan jadwal belajar hanya hari Senin dan Rabu saja. Kemudian bertambah sampai 40 anak dan belajarnya menjadi setiap hari kecuali hari Minggu. Usia anak yang belajar beragam mulai 7 tahun sampai 14 tahun. Di KBA Rawa Bebek yang terpenting bukan ijazah atau sertifikat tapi kemampuan dan kreatifitas anak.

Pendampingan belajar disini dilakukan oleh dua orang yaitu Sdri. Lia, masih sekolah di SMP di Nurul Islam kelas 3, Tanah Pasir, Jakarta Utara, dan Sdri. Indah, masih sekolah di SMK Bina Karya kelas 1, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Keduanya tinggal di kolong tol. Kegiatan yang ada di KBA Rawa Bebek yaitu menulis, membaca, menggambar, bernyanyi, ketrampilan, bermain teater, makan bersama dan keliling kampung. KBA ini pernah didampingi oleh seniman dari Solo yang mengajarkan musik bambu, wayang bambu, bermain musik dengan mulut, pantonim, bermain seruling.

Anak-anak dilatih untuk menabung, bertujuan untuk mengajarkan kepada anak-anak tentang pentingnya berhemat dalam menggunakan uang. Uang tabungan biasanya digunakan untuk kepentingan belajar seperti untuk berenang, jalan-jalan ke museum, dll. Selain itu anak-anak pun membayar uang kas untuk keperluan seperti membeli kapur, spidol dan foto-copy.

KBA Rawa Bebek beberapa bulan terakhir ini fokus berteater. Mereka beberapa kali mengikuti festival teater, salah satunya festival teater yang diadakan di TIM (Taman Ismail Marzuki). Tujuannya bukan untuk mendapatkan piala tetapi untuk melatih keberanian dan pengembangan kemampuan. Mereka mendanai sendiri dalam setiap pementasan dengan cara mengamen. Sebulan sebelum melakukan pementasan teater, anak-anak menjual tiket pementasan. Uang yang terkumpul mereka gunakan untuk membeli perlengkapan festival seperti kostum dan transportasi.

8. Kelompok Belajar Anak (KBA) “Ceria”

Kelompok belajar ini didirikan pada tanggal 4 September 2005. KBA ini didirikan karena sebagian besar orang tua yang mempunyai anak pra sekolah tidak mampu memasukkan anaknya ke Taman Kanak-kanak (TK). Sedangkan untuk masuk ke Sekolah Dasar (SD), anak-anak harus sudah bisa menulis dan membaca. Atas situasi seperti ini, maka beberapa Ibu-ibu seperti Ibu Hartini, Ibu Kamsah dan Ibu Sinta berinisiatif membuat Kelompok Belajar Anak Ceria yang berlokasi di Jl. Muara Baru RT.016 RW.017, Kebon Tebu Blok G.

Kegiatan yang dilakukan biasanya mengenalkan huruf dan angka, dengan cara yang kreatif bisa lewat nyanyian atau olah tubuh (gerak), mengeja, bercerita, olah-raga, makan bersama, jalan-jalan didalam dan luar kampung.

Jadwal kegiatan pendampingan dilakukan pada hari Senin-Sabtu pukul 09.00-10.00 dan 10.00-11.00. Jumlah anak yang mengikuti kegiatan belajar sampai saat ini sebanyak 60 anak.

9. Kelompok Belajar Anak (KBA) “Dahlia”

KBA Dahlia dimulai pada 22 Maret 2006. Awalnya jumlah anak yang ikut dalam KBA sebanyak 25 anak dengan usia setara SD (7-12 tahun). Pendampingnya adalah remaja setempat, yaitu Sdri. Tarmini (Mini), masih sekolah di SMK, dan Sdri. Irma, yang juga masih sekolah di SMU.

Proses pendampingan di KBA Dahlia setiap hari Senin sampai Jumat, pada jam 18.30 - 20.00 WIB, bertempat di rumah Mini di Jl. Kebun Jeruk Timur RT.02/02 No.14, Prumpung, Jakarta Timur. Dalam proses belajar yang menentukan jadwal kegiatan adalah anak-anak bukan pendamping. Cara ini dilakukan agar anak dapat berpartisipasi dan menentukan apa yang terbaik untuk dirinya.

Materi belajar KBA di Prumpung tidak hanya belajar mata pelajaran sekolah saja, tetapi ada berbagai kegiatan lain salah satunya musik. Dalam pelajaran musik yang dipelajari yaitu mengenalkan birama atau ketukan, tempo, dinamik. Selain itu KBA mengadakan kegiatan keliling kampung untuk mengenal lingkungan tempat tinggal dan permasalahannya. Kemudian hasil temuan didiskusikan persoalan dan pemecahannya. Dari proses itu diharapkan anak-anak memahami masalah kampungnya dan apa saja yang harus mereka lakukan. Salah satu contoh diskusinya yaitu ketika keliling anak-anak menemukan banyak sampah dimana-mana. Ketika didiskusikan anak-anak menemukan prilaku warga yang sering membuang sampah sembarangan. Anak-anak membuat kesepakatan apa yang harus dilakukan agar kampungnya tidak kotor. Ada ide untuk membuat tempat sampah di rumahnya masing-masing dan memilah menjadi sampah organik dan non organik.

Pada hari Minggu pagi biasanya diadakan olah-raga bersama. Bentuknya bisa lari pagi ataupun renang. Untuk berenang biasanya di gelanggang renang, dengan biaya tiket masuk didapat dari hasil uang tabungan anak-anak. Jika tidak berolah-raga biasanya kami melakukan kegiatan kreativitas seperti, menggambar bersama, membuat wayang kardus, origami,dsb.

10. Kelompok Belajar Anak (KBA) “Darma Bangsa”

Kelompok Belajar Anak (KBA) “Darma Bangsa” dimulai pada bulan Oktober 2005. Latar belakang dibentuknya kelompok belajar anak ini awalnya karena di Elektro banyak orang tua yang tidak mampu membiayai anaknya masuk ke sekolah TK. Sehingga beberapa warga berinisiatif membuat kelompok belajar anak yang pendampingnya berasal dari warga kampung sendiri.

Pendamping Kelompok Belajar Anak di Elektro adalah Sdri. Nani, perempuan kelahiran 1981 lulusan SMU di Wonogiri – Jawa Tengah. Ia tertarik melakukan pendampingan karena keinginannya untuk meningkatkan kualitas kampung tempat tinggalnya. Pengalaman yang menurutnya paling membahagiakan yaitu saat anak-anak yang didampinginya memiliki kemampuan yang setara dengan anak-anak yang belajar di sekolah TK (formal). Kemampuan anak-anak dampingannya dapat dilihat saat akan memasuki SD sudah bisa membaca dan menulis dengan baik.

Kelompok belajar ini bertempat di Jl. Muara Baru Gg. Elektro Rt.14/17 No.35. Jumlah anak yang belajar 25 anak (12 perempuan, 13 Laki-laki). Jadwal belajar dari hari Senin sampai Sabtu, pukul 09.00 - 10.00 WIB. Materi belajar yaitu gambar, mengenal angka, mengeja, menulis, bernyanyi bersama, dll. Sebulan sekali melakukan kegiatan jalan-jalan keluar kampung seperti ke museum, dan laut. Kegiatan ini dilakukan agar anak-anak mengenal sejarah dan lingkungannya selain itu agar mereka tidak merasa bosan. Kegiatan rutin satu minggu sekali yaitu pelajaran musik yang difasilitasi oleh Ari dari kelompok Belajar Musik Pulogadung. Sampai saat ini pendampingan musik baru sampai pengenalan birama.

11. Kelompok Belajar Anak (KBA) “Kalibaru”

Kelompok Belajar Anak (KBA) ini dibentuk pada tanggal 03 Desember 2005 oleh beberapa warga di daerah Kalibaru. KBA dibentuk karena keprihatinan sebagian warga Kalibaru terhadap persoalan pendidikan dikampung tersebut. Faktor utamanya yaitu karena kesulitan biaya untuk mengakses pendidikan formal (TK), serta adanya beberapa anak yang putus sekolah.

Kegiatan pendampingannya dilakukan setiap hari Senin sampai Sabtu, dibagi dalam dua kelas yaitu untuk pra-sekolah (usia anak 4-6 tahun) pada pukul 09.00 - 10.30 WIB, dan untuk usia Pendidikan Dasar (usia 7-14 tahun) pada pukul 19.30 - 20.30 WIB. Tempat untuk proses pendampingannya itu sendiri dilakukan di Mushola Ar-Rahman yang berlokasi di Jl. Kalibaru Barat I, Gg. Salak RT.08 RW.008 Kalibaru, Cilincing – Jakut 14110.

Pendamping kegiatan KBA ini 3 orang yaitu Sdri. Kokom (usia 20 tahun, lulusan SMK di Ciamis – Jawa Barat), Sdri. Euis (usia 17 tahun, kelas 1 SMK), dan Sdr. Idris (usia 18 tahun, sekolah di SMK).

Kegiatan yang dilakukan untuk usia pra-sekolah misalnya saja ada pengenalan huruf dan angka, makan bersama (untuk membandingkan makanan dari laut dan dari darat), bercerita/dongeng, kreatifitas / ketrampilan, jalan-jalan baik di kampung maupun keluar kampung (laut, berenang). Selain itu di KBA kami pun tersedia buku perpustakaan yang dapat dipinjam oleh anak-anak KBA ataupun diluar KBA.

12. Kelompok Belajar Anak (KBA) “Kebon Indah”

Kelompok Belajar Anak (KBA) Kebon Indah tepatnya berlokasi di Jl.Kalibaru Barat I, Gg. Mandiri 5, Blok C RW.010. Dibentuk pada bulan Maret 2006 oleh warga yang diprakarsai Ibu Ani (40 th) dan Yusri (18 th) karena banyak anak yang tidak dapat sekolah di Taman Kanaqk – kanak, dan putus sekolah di Kebon Indah. Kegiatan yang dilakukan antara lain: menggambar,membuat kerajinan tangan, menulis, bercerita, dan bermain musik dan menyanyi.

Pemilihan materi yang akan dibahas setiap harinya ditentukan secara bersama-sama. Pendampingan mengajak anak-anak untuk menentukan kegiatan apa yang akan mereka lakukan. Suara terbanyaklah yang menentukan aktivitas yang dilakukan pada hari itu.

Selain kegiatan belajar di dalam kelas tersebut, anak-anak setiap bulan sekali belajar renang (di kolam renang Walikota Jakarta Utara) atau main ke Pantai Jakarta. Biaya renang dan jalan-jalan ini dikumpulkan anak-anak melalui tabungan harian. Sedangkan biaya operasional kelompok belajar didapat dari uang kas yang dikumpulkan oleh para peserta belajar. Jumlah anak yang ikut belajar awalnya hanya 12 orang sekarang sudah menjadi 33 orang (19 perempuan dan 14 orang laki-laki).

Jadwal pendampingan kelompok belajar ini setiap hari Senin – Sabtu pada pukul 09.00-10.00 WIB (untuk usia 4-6 tahun), dan pukul 18.30-20.00 (untuk usia 7-12 tahun).

13. Kelompok Belajar Anak (KBA) “Kp. Sawah”

“Anak merupakan penerus bangsa oleh karena itu kita harus memberikan yang terbaik untuk dirinya”. Itulah yang dikemukakan oleh Ibu Tati salah satu orang yang ikut berperan besar dalam pembentukan Kelompok Belajar Anak (KBA) di Kp.Sawah.

KBA ini didirikan pada tanggal 22 Februari 2006, bertempat dirumah salah satu warga, Ibu Tati, yaitu di Jl. Raya Cacing, Blok C Kampung Sawah, Cilincing – Jakarta Utara. Anak-anak yang ikut dalam KBA ini adalah anak usia pra sekolah (3-6 tahun), dengan jadwal setiap hari Senin – Sabtu pukul 09.00-10.00 dan 10.00-11.00. Anak yang ikut KBA sebanyak 60 orang anak, dengan 3 pendamping: Ibu Tati, Ibu Lilis, dan Ibu Novi (mereka semua adalah ibu rumah tangga yang bertempat tinggal dikampung sawah).

Kegiatan yang dilakukan sehari-hari yaitu, belajar mengenal huruf dan angka, menggambar, origami, kolase, makan bersama, bercerita, jalan - jalan, bermain musik (mengenalkan birama atau ketukan pada anak). Selain itu UPC (lembaga pendamping) membantu dalam hal pengadaan buku perpustakaan dan pelatihan pelatihan yang dibutuhkan, misalnya saja pelatihan bercerita.

14. Kelompok Belajar Anak (KBA) “Marlina I”

Banyaknya anak-anak usia pra sekolah yang tinggal di Marlina I dan ketidak mampuan orang tuanya untuk menyekolahkan anak-anaknya ke Taman Kanak-kanak, merupakan salah satu alasan mengapa dibuatnya Kelompok Belajar Anak (KBA) di Marlina I ini.

Keprihatinan akan situasi tersebut juga dirasakan oleh Selvi (perempuan 17 tahun yang masih bersekolah kelas 2 di SMU Cordova) dan Bedah (wanita usia 15 tahun yang masih sekolah kelas 3 SMP), sehingga termotivasi untuk berbuat sesuatu bagi anak-anak di kampungnya. Dengan dibantu oleh UPC (lembaga pendamping), Selvi dan Bedah memulai membentuk KBA pada tanggal 5 Desember 2005.

Dengan sarana dan prasarana seadanya, KBA mencoba membuat kegiatan bersama seperti menggambar, menonton film bersama dan mendiskusikannya. Kegiatan ini ternyata juga diikuti oleh anak-anak seusia Sekolah Dasar yang jumlahnya semakin banyak. Sehingga KBA juga terdorong untuk melakukan pendampingan secara khusus kepada mereka dengan memberikan pelajaran dasar, seperti Matematika, Bahasa Inggris, dan IPA.

Banyaknya anak yang ikut belajar membuat tempat untuk belajar tidak memungkinkan lagi. Maka UPC (lembaga pendamping) membantu membuatkan balai belajar bersama. Selain untuk kegiatan kelompok belajar anak, balai tersebut juga digunakan warga untuk berkumpul. Balai tersebut berada di Jl. Muara Baru, Marlina RT.01 RW.017, Blok B No.19, Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara.

Jadwal kegiatan KBA setiap hari Senin – Sabtu pukul 16.30-17.30. Untuk mendukung proses proses belajar agar lebih baik, maka dibagi menjadi dua kelompok anak, yaitu kelompok anak usia sekolah (7-14 tahun) dan usia pra sekolah (4-6 thn).

15. Kelompok Belajar Anak “Pelita Bahari”

Kelompok Belajar Anak (KBA) “Pelita Bahari” dimulai pada 8 Januari 2007. Tempat belajar menggunakan rumah kontrakan berukuran 3 x 4 m² di Muara Baru, Kebon tebu RT 016/017 No.91 Blok B. Ada kesulitan mencari rumah kontrakan yang besar atau memadai karena di Muara Baru rata-rata ukurannya hanya 3 x 4 m².

Pendampingan di KBA dilakukan oleh 3 orang yaitu Pegy (Siswi Kelas 1 SMU Cordova,Jak-Ut), Fitri (Siswi Kelas 2 SMU Cordova, Jak-Ut), dan Enni (Lulusan SMU Cordova). Jumlah peserta belajar ada 27 anak (14 laki-laki dan 13 perempuan) yang dibagi kedalam dua kelompok Yaitu :

* Kelompok usia pra-sekolah, 3-6 tahun. Jadwal belajar setiap hari Senin – Sabtu, dari jam 13.00 -14.00 WIB. Peserta belajar 14 anak ( 7 perempuan dan 7 laki-laki)
* Kelompok usia sekolah, 7-12 tahun. Jadwal belajar setiap Senin – Sabtu, dari jam 10.00 - 11.00 WIB. Peserta belajar 13 orang (6 perempuan dan 7 laki-laki)

Materi belajar untuk usia prasekolah antara lain membaca, mengenalkan bentuk bangun (segitiga, bujur sangkar, persegi panjang, jajar genjang, membuat garis lurus, garis lengkung dll), mengeja (membaca), dan menulis. Sedangkan untuk usia sekolah belajar kreativitas dengan menggunakan barang bekas sebagai medianya. Pendampingan juga secara khusus untuk menemani anak-anak yang kesulitan dalam mengerjakan PR.

Selain itu, anak-anak diberikan pelajaran musik dan bernyanyi. Materi yang dipelajari yaitu mengenal birama diselingi dengan lagu dan permainan. Pendampingnya bernama Didit dan Wandi. Mereka berdua dari Kelompok Belajar Musik (KBM) anak-anak remaja kampung Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK). Sedangkan setiap hari Jumat, baik yang usia sekolah maupun pra-sekolah diadakan kegiatan gosok gigi bersama.

16. Kelompok Belajar Anak (KBA) “Pulogadung”

Kelompok Belajar Anak (KBA) Pulogadung berada di pemukiman miskin bantaran kali dengan mayoritas warganya bekerja sebagai pemulung, sehingga berdampak pada pendidikan anak menjadi kurang mendapat perhatian orang tua. Akibatnya banyak anak putus sekolah. Keadaan ini mendorong Ibu Enok dan UPC untuk membuat kegiatan pendidikan alternatif. KBA di Pulogadung ini dibangun bulan Februari 2005.

Kegiatan yang dilakukan sangat beragam mulai sari bernyanyi, bermain musik, menggambar, mendongeng, dan permainan/game.

Kegiatan KBA Pulogadung diselenggarakan setiap hari Senin-Rabu, Jumat-Sabtu pada pukul 18.30-19.30, dengan tenaga pendamping sebanyak 2 orang yaitu Murni (siswa SMP kelas 3) dan Nur (wanita usia 17 tahun yang putus sekolah). Jumlah peserta KBA saat ini sebanyak 20 anak.

17. Kelompok Belajar Anak (KBA) “Sekar Bangsa”

Kelompok Belajar Anak (KBA) “Sekar Bangsa” dibentuk pada bulan Agustus 2005. Latar belakangnya karena di Marlina banyak keluarga yang tidak mampu menyekolahkan anaknya. Seiring berjalannya waktu, KBA dimarlina tidak hanya dimasuki oleh kalangan bawah saja tetapi kalangan menengah di Marlina pun mempercayakan anaknya untuk bergabung di KBA Sekar Bangsa ini.

Awalnya, Kelompok Belajar Anak ini hanya diikuti 15 anak dan didampingi oleh dua pendamping. Tiga bulan kemudian bertambah menjadi 30 anak dan sekarang jumlahnya menjadi 65 anak. Karena minat warga begitu besar maka pendampinya ditambah menjadi 4 orang yaitu Ibu Enni, Ibu Riyana, Ibu Dewi, dan Ibu Bella. Semuanya adalah ibu rumah tangga yang menyediakan waktunya untuk mengajar di KBA.

Karena tuntutan dari para orang tua di Marlina yang meminta kelas khsusus untuk usia sekolah maka dibuka kelompok belajar usia sekolah (kelas1-6 SD). Tempat belajar berukuran 3 x 6 m², yang disewa dari salah satu rumah pendamping, tepatnya di Jl. Muara Baru Marlina RT.03 RW.017 No.19, Penjaringan, Jakarta Utara. Karena tempatnya sempit maka KBA dibagi kedalam tiga kelompok yaitu :

* Pukul 09.00 -10.00 untuk Usia 3-5 Tahun
* Pukul 10.00 -11.00 untuk Usia 5-6 Tahun
* Pukul 16.00 -17.00 untuk Usia 7-12 Tahun

Materi belajar KBA “Sekar Bangsa” adalah menggambar, mengenal huruf, mengenal angka, mengeja, membaca, origami (melipat), musik, bernyanyi, kreativitas, mengenal lingkungan, rekreasi ke laut, mengenal sejarah dengan mengunjungi museum, dan mengenal makanan sehat melalui makan bersama. Untuk usia sekolah kami lebih banyak melakukan pendampingan kreativitas dan sesekali melakukan pendampingan pelajaran sekolah.

Sebulan sekali diadakan pertemuan dengan para orang tua / wali anak peserta belajar untuk melaporkan apa saja yang sudah dilakukan, perkembangan anak, serta kendala apa saja yang dihadapi oleh pendamping dalam melakukan proses belajar. Pertemuan ini sebagai salah satu media komunikasi antara pendamping dengan orang tua / wali anak.

18. Kelompok Belajar Anak (KBA) “Sitanala I”

Kelompok Belajar Anak (KBA) “Sitanala I” didirikan pada bulan Desember 2006. Dibentuk karena adanya keresahan ibu Sriyatmo (ibu dengan 2 anak) akan sistem pendidikan yang kurang baik. Setiap hari ia melihat anaknya yang sekolah pulang hingga sore hari. Pekerjaan rumah (PR) menumpuk sehingga kehilangan banyak waktu untuk bermain dan berinteraksi dengan keluarga dan lingkungannya. Kemudian Bu Sri mencoba membuka KBA di rumahnya.

Kegiatan yang dilakukan Bu Sri mencoba untuk memasukan kegiatan seperti menggambar bersama, musik, bercerita, dan kegiatan kreatifitas lainnya. Untuk bercerita disediakan buku-buku perpustakaan yang didalamnya ada proses diskusi, baik soal gambar sampai dengan alur cerita dan pesan yang disampaikan.

Kegiatan kelompok belajar anak ini dijadwalkan setiap hari Senin – Sabtu, mulai pukul 19.30 - 20.30 WIB, bertempat di rumah bu Sriyatmo, Jl. Dr. Sitanala Komplek Serbaguna RT.001/013, Kel. Karangsari, Kec. Neglasari, Kodya Tangerang, Banten. Jumlah anak yang mengikuti kegiatan tersebut sampai saat ini sebanyak 25 anak.

19. Kelompok Belajar Anak (KBA) “Sitanala II”

Kelompok Belajar Anak Sitanala II, berdiri pada tanggal 08 Febuari 2006 berlokasi di Jl. Dr. Sitanala Komplek Serbaguna RT.003/013 no.105, Kel. Karangsari, Kec. Neglasari, Kodya Tangerang, Banten.

Terbentuknya KBA ini karena adanya usulan dari beberapa warga kampung yang menganggap sistem pendidikan yang ada saat ini kurang memberikan ruang kepada anak untuk berkreativitas. Diperlukan kelompok belajar alternatif untuk anak dengan melibatkan komunitas mulai dari mencari tempat, materi pendampingan, sampai buku dan bahan-bahan pembantu untuk belajar.

Proses pendampingan dilakukan oleh 2 orang pendamping yaitu Tri yuliana (siswa kelas 2 SMK Ar-Rahman) dan Isabella (siswa kelas 2 SMK Ar-Rahman). Kegiatan yang dilakukan sangat beragam yaitu: menggambar, mendongeng, origami, kolase, musik, makan bersama dan jalan-jalan kampung. Kelompok anak yang didampingi berusia sekitar 4 -7 tahun. Jadwal belajar setiap hari Senin – Sabtu pukul 18.30 -19.30 WIB.

Selain itu KBA ini juga mengenalkan huruf dan angka. Biasanya sebelum proses belajar, pendamping bertanya kepada anak-anak apa yang mereka ingin lakukan hari ini. Kegiatan yang dilakukan adalah kegiatan yang paling banyak dipilih oleh anak-anak. Tetapi pendamping juga memberikan tawaran materi untuk dijadikan bahan belajar. Kegiatan lainnya yaitu musik, bercerita. Di kelompok belajar anak ini juga tersedia pula buku perpustakaan yang dapat diakses oleh anak-anak KBA dan anak-anak diluar KBA.

20. Kelompok Belajar Anak (KBA) “Tamalate”

Kelompok Belajar Anak (KBA) TAMALATE didirikan pada tanggal 23 April 2007, oleh Daeng Jene dan Ibu Ratna. Latar belakang didirikannya KBA ini karena sebagian besar orang tua yang tinggal di tempat ini tidak mampu memasukkan anaknya ke TK. Padahal untuk masuk ke SD, anak-anak harus sudah bisa membaca dan menulis.

Jumlah anak yang ikut dalam KBA Tamalate sebanyak 38 anak, terdiri dari 20 anak perempuan dan 18 anak laki-laki. Rata-rata usianya adalah usia pra-sekolah (4-6 thn). KBA ini berlokasi di rumah Daeng Jene, Kebon Tebu Rt.016/017, Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara. Dengan jadwal belajar setiap hari Senin sampai Sabtu pada pukul 08.30-10.00.

Kegiatan yang dilakukan untuk usia pra-sekolah misalnya saja ada pengenalan huruf dan angka, makan bersama (untuk membandingkan makanan dari laut dan dari darat), bercerita/dongeng, kreatifitas, dan jalan-jalan baik di kampung maupun keluar kampung. Selain itu, di KBA juga tersedia perpustakaan yang dapat dipinjam buku-bukunya oleh anak-anak dari KBA ataupun dari luar KBA.

21. Kelompok Belajar Anak (KBA) “Kembang Lestari”

Kelompok Belajar Anak (KBA) Kembang Lestari dibentuk oleh warga atas prakarsa Ibu Karlina (25 th) pada bulan Maret 2007. Didirikan untuk menjawab persoalan mayoritas warga (orang tua) yang tidak mampu menyekolahkan anaknya ke TK. Sedangkan untuk masuk ke SD anak-anak harus sudah bisa menulis dan membaca. Lokasi KBA Kembang Lestari tepatnya di Jl. Muara Baru – Tembok Bolong RT.001 RW.017, Penjaringan, Jakarta Utara.

Kegiatan yang dilakukan antara lain: menggambar, membuat kerajinan tangan, menulis, bercerita/mendongeng, bermain musik dan menyanyi. Pemilihan materi yang akan dibahas setiap harinya ditentukan secara bersama-sama. Pendamping mengajak anak-anak untuk menentukan kegiatan apa yang akan mereka lakukan. Suara terbanyaklah yang menentukan aktivitas yang dilakukan pada hari itu.

Selain kegiatan belajar di dalam kelas tersebut, anak-anak setiap bulan sekali bermain ke laut Muara Baru – Jakarta Utara. Biaya ini dikumpulkan anak-anak melalui tabungan harian. Sedangkan biaya operasional kelompok belajar seperti pembelian papan tulis, kapur, spidol didapat dari uang kas yang dikumpulkan oleh para peserta belajar setiap satu minggu sekali. Jumlah anak yang ikut belajar awalnya hanya 15 anak, sekarang sudah menjadi 51 anak (26 perempuan dan 25 Laki-laki).

Jadwal pendampingan kelompok belajar ini setiap hari Senin – Sabtu pada pukul 14.00-15.00 WIB (untuk usia 4-5 tahun), dan pukul 15.00-16.00 (untuk usia 6-7 tahun).

22. New Hope Ministry (NHM)

Sejak berdiri pada tahun 2002 di Jakarta, NHM awalnya hanya berbentuk program pendampingan belajar (bimbingan belajar) saja. Tetapi dalam perjalanannya yang makin intens dan mendalam, NHM memutuskan untuk tidak hanya pendampingan belajar saja, tetapi suatu pelayanan (red. pendampingan) ini harus holistik, seperti: pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan advokasi.

Sampai saat ini sedikitnya ada 150 anak yang didampingi oleh NHM dan tersebar di tiga komunitas dampingan, seperti:

1. Komunitas Bantaran Kali Buaran, Jakarta Timur

à pendampingan disini berlangsung sejak tahun 2002

à pendampingan difokuskan pada anak-anak saja

à tempat berkumpul dan belajar menggunakan rumah warga setempat

2. Komunitas Klender, Jakarta Timur

à pendampingan disini berlangsung sejak tahun 2002

à difokuskan pada anak-anak yang umumnya berlatar belakang anak jalanan

3. Komunitas Kebon Singkong, Jakarta Timur

à pendampingan disini berlangsung sejak tahun 2006

à pendampingan diselenggarakan untuk komunitas warga miskin yang tersebar di 12 RT di wilayah Kebon Singkong RW.01, Kel. Klender, Kec. Duren Sawit, Jakarta Timur.

23. SANGGAR RUMAH KITA

Rumah KITA adalah rumah aman (shelter) dan tempat belajar atau bisa disebut sanggar untuk anak-anak jalanan dan anak-anak miskin perkotaan, biasa disebut anak pinggiran. Sanggar yang memegang teguh moto “berkawan – belajar – berkarya” ini didirikan pada tahun 2000 di Kampung Kramat, sebuah kampung yang terletak di bantaran Kali Cisadane dan Cipekancilan, Panaragan, Bogor Tengah. Secara organisasi Rumah KITA menjadi bagian kerja-kerja Gerbong Rakyat (GeRaK), sebuah perhimpunan yang menetapkan diri untuk membangun pendidikan alternatif bagi anak pinggiran.

Awalnya Rumah KITA digunakan untuk istirahat dan tinggal oleh teman-teman yang semula tidur dan bekerja di Stasiun Bogor. Di rumah ini teman-teman dapat beristirahat dengan tenang karena terbebas dari ancaman palak dan pukul dari orang-orang dewasa di stasiun. Mereka juga dapat menikmati mandi dan mencuci dengan air bersih. Dan yang terpenting mereka dapat berteman dengan anak-anak kampung yang tinggal bersama orang tuanya dan ngobrol secara bebas dengan kakak-kakak (red. pendamping) yang juga tinggal di Rumah KITA. Teman-teman juga menyepakati aturan bersama agar suasana rumah menjadi lebih nyaman untuk semua.

Rasa aman dan nyaman inilah yang kemudian membuat teman-teman menyadari kebutuhan untuk belajar. Mereka mulai tertarik untuk belajar musik, dan kembali belajar baca-tulis. Kegiatan belajar musik inilah yang kemudian membuat beberapa teman beralih pekerjaan dari nyapir (mengemis) menjadi ngamen. Dan alih pekerjaan inilah yang membuat Rumah KITA semakin ramai tidak hanya oleh teman-teman dari stasiun tapi juga dari jalan yang diajak oleh teman-teman yang mengamen. Kegiatan belajar juga berkembang lebih pesat dan beragam sesuai kebutuhan dan keinginan teman-teman; mulai dari menggambar, membuat kerajinan tangan, daur ulang, dan diskusi.

Tetapi ternyata keindahan itu harus terlukai dengan kejadian-kejadian yang cukup menyakitkan. Sebagian masyarakat kampung tidak dapat menerima kehadiran teman-teman Rumah KITA di kampungnya. Ketidaksukaan itu ditunjukkan dengan penyebutan macam “gembel”, “jorok”, “dekil”, tuduhan maling, hingga tindakan melempar salah satu teman dari jembatan setinggi tujuh meter ke kali. Hal ini tidak dapat dibiarkan begitu saja. Stigma dan kekerasan harus dilawan, bukan dengan kekerasan tapi dengan kegiatan nyata.

Warga kampung mulai bisa menerima teman-teman Rumah KITA setelah melihat bahwa mereka memang punya kemampuan yang dibuktikan dengan pentas-pentas musik dan teater yang dilakukan. Juga tak pernah ketinggalan kerja bakti, perayaah tujuh belasan kampung, atau sekedar nonton pentas dangdut saat ada kawinan. Dan dengan makin banyaknya mahasiswa dari kampus di Bogor dan Jakarta, bahkan Jepang yang belajar dan membantu kegiatan di Rumah KITA. Mereka juga tidak lagi mempersoalkan keterlibatan anak-anaknya dalam kegiatan atau sekedar datang bermain. Perlu waktu lebih dari tiga tahun untuk membuat hal ini terjadi.

Semua keindahan itu harus berakhir karena pemilik rumah tidak lagi menyewakan rumahnya. Ibu Haji itu bermaksud menjual rumah yang kami tinggali selama empat tahun. Tapi sebab sesungguhnya ternyata ada calo baru yang tak lain dan tak bukan bibi dari calo rumah yang lama yang tidak suka kami menempati rumah itu lagi. Karena kalau kami memperpanjang kontrak komisi penyewaan akan tetap menjadi hak calo yang lama. Menyebalkan memang. Kami harus pindah dari kampung yang telah mencairkan hubungan anak jalanan dan anak kampung hanya karena persaingan dua calo rumah kontrakan.

Begitulah. Bulan Juni 2004 kami pindah rumah –masih di pinggir Kali Cisadane- ke Kampung Kepatihan, Kelurahan Kebon Kelapa, Bogor Tengah. Semula banyak warga yang menolak kepindahan kami ke sini. Tapi setelah kakak-kakak menjelaskan kegiatan Rumah KITA kepada Pak RW, protes warga menjadi agak reda karena Pak RW mau pasang badan untuk menjadi jaminan bahwa tidak akan terjadi apa-apa. Bapak itu juga meyakinkan bahwa kami akan diperlakukan sama seperti warga lain olehnya; lapor saja kalau ada yang mengganggu kegiatan Rumah KITA.

Berbeda dari kampung sebelumnya, kampung ini banyak dihuni orang berada. Rumah KITA yang terletak persis di pinggir kali menjadi terasing karena jarang dilewati orang selain yang mau buang sampah ke kali. Anak-anak di lingkungan ini pun jarang bermain-main di luar rumah karena sibuk mengerjakan PR dan mengaji setiap pulang sekolah. Memang menyenangkan punya rumah pinggir kali karena bisa berenang setiap kali kita mau, tapi kalau nggak punya teman semua jadi membosankan.

Latihan musik, teater, kerajinan tangan, daur ulang, vokal, dan diskusi tetap dijalani. Pentas dan pawai tetap berjalan. Kami tetap aktif ikut kerja bakti dan kegiatan tujuh belasan. Tapi ternyata, anggapan buruk atau stigma untuk anak jalanan masih berlaku. Suatu kali ada seorang pedagang yang kecurian, dan yang ia ingat anak yang mencuri berpakaian lusuh dan membawa gitar. Otomatis tuduhan langsung dilayangkan ke Rumah KITA. Suasana benar-benar tegang saat itu. Pencurian terjadi pukul dua sampai tiga dini hari. Peraturan rumah menegaskan bahwa pintu rumah dikunci tepat tengah malam dan pada hari pencurian itu terjadi semua anak sudah ada di rumah untuk istirahat. Tapi kami harus membuktikan bahwa memang bukan kami pelaku pencurian itu. Akhirnya Teteh korban pencurian dan Pak RW kami undang untuk langsung membuktikan. Dan Teteh itu bilang memang bukan kami yang melakukan. Semua orang, terutama Pak RW, merasa lega bukan kepalang.

Hanya setahun kami tinggal di kampung ini. Bulan Juni 2005 kami pindah ke rumah kontrakan baru yang berada persis di tengah kampung di belakang pasar. Rumah itu berada di Kampung Purbasari, Gunung Batu, Bogor Barat. Meski agak jauh dari stasiun, rumah ini cukup nyaman untuk berkegiatan. Anak-anak di kampung ini pun bersemangat dan dengan rasa penasaran yang membara mereka sibuk bertanya, menonton, dan mulai ikut latihan teman-teman baru yang bertato dan berambut warna-warni. Kami mulai betah menempati rumah baru ini karena banyak teman baru yang bisa diajak bermain atau ngobrol sepulang kerja.

Tapi ternyata kegembiraan itu tak berlangsung lama. Sebulan berselang Ibu RT bersama bapak tua yang mengaku tokoh agama mengumpulkan tanda tangan warga untuk mengusir kami keluar dari kampung itu. Kumpulan tanda tangan itu diberikan kepada pemilik rumah yang kemudian memutus sepihak kontrak rumah dan mengembalikan uang kontrakan yang telah lunas kami bayar. Alasannya tetap sama seperti kejadian di kampung-kampung sebelumnya; takut anak-anak ketularan memakai anting, membuat tato, dan mengecat rambut.

Kami bersikukuh tetap tinggal karena merasa punya hak yang sama dan telah menunaikan kewajiban warga baru lapor RT-RW. Pemilik rumah yang terus menerus diteror telpon untuk mengusir kami akhirnya juga bersikukuh untuk memutus kontrak. Dan akhirnya terjadilah pengusiran naas itu. Hari Jumat, 22 Juli 2005 selepas Jumatan, ada seorang Polisi berseragam yang mulai menanyai teman-teman yang ada di rumah satu per satu. Tempat kegiatan kakak-kakak di GeRaK memang terpisah sejak kepindahan terakhir ini karena rumahnya terlalu kecil untuk dipakai kegiatan dua organisasi. Teman-teman kemudian menghubungi kakak yang ada di GeRaK dan menceritakan kejadian polisi tadi.

Menjelang waktu sholat ashar anak pemilik rumah datang bersama Mamang yang ditugasi mengecat rumah. Tak lama berselang ia kembali bersama bapaknya dan Polisi yang tadi datang. Dan dimulailah acara mengeluarkan barang-barang kami dari rumah itu. Bu RT juga turut mengawasi kegiatan ini dan memerintahkan warga laki-laki membantu mengeluarkan barang-barang. Kami tidak setuju pindah, makanya kami dan banyak warga lain hanya duduk menyaksikan insiden ini dengan penuh kegetiran.

Semakin sore makin banyak orang yang datang menonton. Dan bukan hanya Polisi, tapi juga tentara yang ditugaskan di kelurahan dan pengurus Karang Taruna ikut campur tangan. Wartawan dan teman-teman yang mendukung kami juga mulai berdatangan menjelang maghrib. Malam hari Pak Lurah mengajak diskusi di aula kelurahan. Pemilik rumah, RT, RW, pengurus Karang Taruna, tentara, polisi, dan perwakilan warga juga datang. Kakak-kakak dari GeRaK dan beberapa warga yang mendukung ditemani kakak-kakak dari Pratista dan Plan yang kebetulan habis pertemuan. Pertemuan itu tetap memutuskan kami harus keluar dari kampung itu meski ada kesaksian warga yang tinggal di depan Rumah KITA yang bilang kalau kami tidak mengganggu, malah memberi kesempatan anak-anak kampung untuk ikut belajar. Malam itu teman-teman tidur di sekretariat GeRaK.

Esok paginya, bersama teman dari LBH Jakarta, teman dari WAPEMI dan beberapa teman mahasiswa kami mengadukan masalah ini ke Polresta Bogor. Pengaduan kami ditolak dengan alasan kami tidak membawa bukti sewa rumah, padahal yang diadukan adalah soal penggusuran dan pencurian yang tidak ada hubungannya dengan soal perdata. Alasan yang tidak masuk akal. Apakah ini karena kami anak jalanan? Sangat mungkin.

Kejadian inilah yang kemudian dipentaskan dalam Nyanyian Bawah Jembatan; Diskriminasi Berhenti di Tangga Nada pada 29 Juli 2005 di Gedung Alumni IPB. Memang ada banyak orang yang menyangkal kehadiran anak jalanan, tapi tidak sedikit pula teman yang mendukung kegiatan anak jalanan. Itu yang mengembalikan semangat kami untuk tetap belajar di Rumah KITA seperti anak-anak lain belajar di sekolahnya.

Pementasan yang menjadi saluran kegelisahan dan ekspresi kreativitas kami selesai sudah. Kami harus cari rumah. Dan akhirnya Bulan Agustus 2005 kami pindah ke rumah baru di kampung pinggir Kali Cisadane, Gunung Batu, Bogor Barat. Rumah inilah yang kami tempati sampai sekarang. Beda dengan ketiga rumah sebelumnya, rumah ini bukan kontrak tapi dibeli oleh GeRaK. Setelah ini kami tidak perlu lagi angkut-angkut barang setiap kali habis masa kontrak.

Sekarang sudah hampir dua tahun kami menempati rumah ini. Rumah yang dulunya mirip kandang ayam sekarang sudah cukup nyaman untuk latihan dan kegiatan. Sekretariat kakak-kakak GeRaK menempati ruangan terpisah dengan Rumah KITA tapi masih di halaman yang sama. Setahun pertama tinggal di rumah ini menjadi waktu penyesuaian diri dan perbaikan rumah di sana-sini. Sanggar belajar secara resmi dibuka oleh Pak RT bertepatan dengan Hari Anak 23 Juli 2006. Dan sejak itu kegiatan belajar terjadwal dengan lebih rapi. Tidak hanya teman-teman yang tinggal di Rumah KITA yang aktif belajar di sini, tapi juga anak-anak kampung. Banyak teman baru yang kami temui.

Kami belajar Musik, Manusia dan Alam Sekitar, Diskusi Senin Malam (dasar-dasar logika), Kerajinan Tangan, Vokal, Menggambar, Bahasa Inggris, Komputer, Teater, Bedah Film, dan Rapat Rumah KITA yang dijadwalkan mulai hari Senin sampai Jumat. Jam belajar disesuiakan dengan waktu luang kami bekerja di stasiun atau di jalan. Diskusi Senin Malam dan Rapat Rumah KITA adalah dua kegiatan yang harus diikuti teman-teman yang tinggal di sini. Selain dua kegiatan itu kami boleh memilih beberapa kegiatan yang kami sukai. Teman-teman yang tinggal juga punya tugas piket rumah secara bergiliran.

Ada rapor yang dibagi setiap tiga bulan untuk menilai sudah sebaik apa kami belajar di sini. Tapi rapornya tidak seperti anak sekolahan karena di situ juga ada nilai tentang kelakuan kami sehari-hari. Rapor ini cukup membantu untuk belajar lebih baik dan berubah menjadi orang yang lebih baik; seperti tidak melakukan kekerasan atau nyuruh-nyuruh teman.

Teman-teman Rumah KITA yang sudah mulai beranjak dewasa alias berumur di atas 18 tahun mempunyai kegiatan yang sedikit berbeda. Mereka mulai menyiapkan kegiatan usaha mandiri. Ada dua teman yang magang di pertanian organik Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI), dan ada satu teman yang mulai serius belajar menjahit. Di waktu luang, mereka belajar memfasilitasi latihan-latihan di Rumah KITA.

Selain kegiatan yang sudah ada di jadwal, anak-anak kampung sini suka sekali bermain di halaman Rumah KITA. Ini bikin gondok tetangga depan dan samping rumah karena terganggu tidur siangnya. Dan mulai gencarlah larangan untuk main-main di halaman rumah. Yang sering kena damprat siapa lagi kalau bukan teman-teman yang tinggal. Pertengahan Bulan Juni 2007 ini ada surat protes yang ditandatangani RT dan RW meminta kegiatan Rumah KITA dihentikan. Akibatnya anak-anak kampung jadi takut ikut kegiatan. Ternyata cap buruk-stigma untuk anak jalanan masih kuat melekat di kepala banyak orang. Sekarang kami sedang menyelesaikan masalah ini.

24. Sanggar Anak Alam (SALAM)

Kekurang pedulian orangtua, selain alasan ekonomi, terhadap pendidikan anak mengakibatkan mereka tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Anak-anak yang tinggal di tempat pembuangan sampah belakang kompleks perumahan Bona Vista (Lapak Gunung Bolong) di kawasan Lebak Bulus III ini setiap hari kegiatannya hanya memulung sampah dan bermain. Mereka tidak bisa baca tulis maupun pengetahuan dasar berhitung. Banyaknya anak-anak pemulung, yang juga mengikuti jejak orang tuanya menjadi pemulung, dan tidak mengenal sekolah melatarbelakangi pendirian sanggar ini pada tanggal 23 Maret 2004.

Karena lokasi belajar berada di tengah permukiman pemulung, mereka memulung setelah atau sebelum belajar, tergantung waktu penyelenggaraan belajar di kelas. Jumlah anak yang mengikuti kegiatan berubah-ubah, mengikuti kepindahan dan kedatangan orang tua mereka yang bekerja sebagai pemulung. Saat ini jumlah anak yang didampingi sekitar 68 anak. Selain pendampingan belajar, pembuatan kertas daur ulang, musik, menyulam, dan perpustakaan, SALAM juga memberikan vitamin dan susu untuk menambah gizi anak.

Kegiatan yang diselenggarakan diantaranya belajar membaca, menulis, dan berhitung, karena kebanyakan dari kami tidak belajar di sekolah formal. Selain belajar membaca, menulis, dan berhitung, kami juga belajar kesenian, ketrampilan, dan juga tentang lingkungan hidup.

Anak-anak yang belajar di sanggar kami dari usia 3 tahun sampai 13 tahun. Dibagi menjadi 4 kelas, yaitu: 1) Kelas Lebah, untuk anak usia 3-5 tahun; 2) Kelas Gajah, untuk anak usia 6-7 tahun; 3) Kelas Merpati, untuk anak usia 8-10 tahun; dan 4) Kelas Rajawali, untuk anak usia 11-13 tahun. Tetapi selain kelas tersebut, ada juga Kelas Malam untuk orang dewasa yang belum bisa membaca dan menulis.

Dalam menjalankan kegiatan belajar, kami mengaturnya dengan jadwal belajar, seperti: hari Senin – Jumat, kami belajar Bahasa, Metematika, Sains, dan Ilmu Sosial, dari pagi hari mulai jam 8 sampai jam 12 siang. Hari Sabtu dan Minggu, libur. Khusus hari Kamis, kami belajar ketrampilan, membuat kerajinan tangan dari barang-barang bekas yang sudah tidak dipakai, dan mendaur ulang kertas. Sore hari, dari jam 3 sampai jam 5 waktunya belajar kesenian, seperti musik, menyanyi, dan menari.

25. Komunitas Solidaritas Anak Jalanan Untuk Demokrasi (SALUD)

Tindakan represif yang dilakukan oleh para petugas Satpol PP di wilayah Jakarta telah membuat trauma anak-anak jalanan yang menjadi korban operasi “penertiban”. Ketidakdilan yang mereka alami menumbuhkan rasa solidaritas diantara mereka sehingga mereka bersama-sama membentuk SALUD pada tahun 1997, didampingi oleh LBH Jakarta, dan baru dideklarasikan pada tahun 1998. Dalam perjalanan berorganisasinya, pada tahun 2002 SALUD bergabung dengan Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI). Saat ini SALUD telah menjadi organisasi anak jalanan yang cukup mandiri.

V i s i

Mewujudkan dunia anak dan remaja di jalanan sebagai ruang berekspresi, serta ruang belajar bersama. Dengan mendorong kreativitas anak dan remaja sesuai kemampuan yang mereka miliki, dengan harapan ketika mereka kembali pada lingkungan masyarakat

mereka sudah siap realiatas sosial masyarakatnya. Sehingga bisa saling berkerja membangun perubahan di lingkungannya, serta jaringan komunitas yang mereka bangun sendiri.

Misi

Menjadi Wahana Kebebasan untuk berekspresi dan bermaksud mendukung cita-cita anak-remaja di jalanan agar tetap bersemangat. Dengan mengembangkan pendidikan alternatif untuk mewujudkan anak dan remaja yang terampil, kreativ, kritis, mandiri, dan menjunjung tinggi Demokrasi dan Hak Asasi Manusia.

Yang lebih istimewa dari SALUD

1. Membangun tali persaudaraan

SALUD mencoba membangun SOLIDARITAS di antara anak-remaja, dan masyarakat dengan segala kegiatan yang positif dan lebih efektif.

2. Menghargai Aspirasi

SALUD berusaha keras agar anak-remaja punya jaringan kerja antar komunitas dan kelak mereka berani tampil serta bersuara di depan publik. Sehingga terwujud aspirasi publik untuk mendesak terwujudnya tanggung jawab negara terhadap kehidupan anak pinggiran.

3. Menggapai cita-cita, merajut masa depan

SALUD berkerja keras dari titik nol hingga memiliki jaringan kerja antar komunitas. Sejak lahir dari tahun 1997 hingga saat ini, kami tak memiliki sekretariat tetapi bisa bertahan dalam rangka menggapai cita-cita dan merajut masa depan.

4. Membangun dan berkerja keras

SALUD mencoba membangun kesadaran bersama-sama melalui karya nyata dan mempererat hubungan persaudaraan hingga antar komunitas. Komunitas ini lahir dari kesadaran mereka yang tetap bertahan di jalanan. Dimana semuanya berangkat dari permasalahan, kebutuhan, dan keperluan masing-masing. Jaringan komunitas yang kami bangun selama ini sekalipun tidak ada sponsor, tetapi kami tetap bertahan.

Komunitas yang tergabung dalam SALUD adalah anak-anak jalanan yang biasa “mangkal” di Stasiun Juanda, Stasiun Gambir-Monas-Masjid Istiqlal, Stasiun-Terminal Depok, dan Pasar tradisional. Jumlah anak jalanan yang saat ini aktif bergabung dalam SALUD sekitar 60-an anak. Secara umum komunitas dalam SALUD dikelompokkan dalam dua wilayah besar, yaitu Jakarta dan Jawa Barat.

Kegiatan-kegiatan bersama yang dilakukan oleh SALUD adalah advokasi, terutama bagi anak jalanan yang ditangkap oleh Satpol PP, perpustakaan (bukunya sangat terbatas dan belum ada tempat maupun pengelola khusus) di Stasiun Juanda dengan menumpang pada sebuah warung, belajar alat musik berupa gitar dan biola, dan bermain bersama. Anak-anak jalanan ini menggunakan ruang terbuka di halte, taman kota, terminal, dan lantai dasar stasiun sebagai tempat melakukan kegiatan bersama. Beberapa diantara mereka, terutama yang di Depok, bersama-sama mengontrak rumah petak sebagai tempat tinggal. Sedangkan anggota dari komunitas lainnya tinggal di stasiun, teminal, atau emperan masjid.

Sejauh ini, dalam berkegiatan, di tiap-tiap komunitas tidak mengalami masalah dengan mayarakat sekitar atau orang dewasa yang juga menggunakan lokasi yang sama untuk kegiatannya. Di beberapa tempat mereka justru mendapatkan orang tua angkat, tempat berbagi kasih sayang meskipun tidak bisa seperti layaknya sebuah keluarga, karena menghadapi persoalan yang sama, kesulitan ekonomi. “Pekerjaan” anak-anak SALUD sangat beragam, ada yang menjadi pengamen, joki 3 in 1, pedagang asongan, pemulung, penyapu kereta, bahkan menjadi guru privat biola. Sebagian dari mereka masih ada yang mengikuti pendidikan formal, namun mayoritas putus sekolah. Anak-anak ini berasal dari berbagai daerah di Indonesia, diantaranya Kalimantan, Sulawesi, Sumatera Utara, Jawa Barat, Riau, Sumatera Barat, Lampung, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Keberadaan mereka di jalanan terdapat beragam alasan, karena harus membantu orang tua, orang tuanya meninggalkannya di jalan karena tidak sanggup lagi membiayai, pergi dari rumah karena mencari kebebasan, atau sebagai bentuk protes terhadap prilaku orang tua yang dianggap tidak bisa menjadi contoh baik bagi anak-anaknya.

26. Sanggar Alam Kita

Sanggar Alam Kita berdiri sejak tanggal 9 September 1999 di daerah Poncol, Kampung Melayu Kecil, Jakarta Selatan di tengah perkampungan miskin yang sering menjadi langganan banjir di Jakarta. Berangkat dari keprihatinan akan sebuah penyelesaian insan jalanan yang tidak terarah, Sanggar Alam Kita mencoba memanusiakan manusia dengan cara yang manusiawi, walaupun masih dalam proses belajar. Anggota komunitas ini merupakan anak jalanan yang terdiri dari: pengamen, pemulung, pengasong, dan anak putus sekolah dengan jumlah sekitar 150 anak.

Maksud dan tujuan dari kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh Sanggar Alam Kita adalah untuk membentuk manusia yang bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa; membentuk manusia yang mandiri dan berpikir positif. Kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan meliputi belajar mengajar (baca tulis), berkesenian (lukis, musik, kerajinan tangan & teater), bakti sosial, dan pengajian mingguan.

27. Sanggar Anak akar
“Untuk anak-anak, pemilik masa depan, pendidikan tidak bisa ditunda”

Sanggar anak akar adalah sebuah organisasi nir-laba yang bergerak di bidang pengembangan model pendidikan untuk anak-anak pinggiran khususnya dan anak-anak yang membutuhkan alternatif model pendidikan yang berbeda dari sekolah formal.

Kata pinggiran dipakai untuk menunjuk pada kondisi akibat dari tatanan masyarakat yang tidak adil. Ketidakadilan yang harus dialami anak-anak nampak dalam berbagai bentuk tindakan pelanggaran hak-hak anak yang paling dasar mencakup hak kelangsungan hidup, hak untuk berkembang, hak memperoleh perlindungan dan hak untuk berpartisipasi. Dalam keseharian akibat praktek ketidakadilan tersebut nampak pada kondisi anak-anak pinggiran yang hidup tanpa jaminan rasa aman dan nyaman, fasilitas yang minim dan kurang layak. Sebagian besar anak-anak pinggiran sudah harus menanggung sendiri beaya hidupnya dengan bekerja entah sebagai pengamen, pengasong, pemulung, kuli, buruh, pembantu rumah tangga atau lainnya. Bahkan sebagian besar dari mereka sudah harus menjadi pilar penyangga ekonomi keluarga. Beban yang sudah berat masih bertambah berat lagi ketika anak-anak harus berhadapan dengan sikap sinis, pandangan negatif masyarakat dan perlakuan kasar serta tindakan kekerasan.

Model Sanggar dikembangkan dari Nopember 1994. Sebelumnya kegiatan bersama anak-anak pinggiran dilakukan dengan membangun model kelompok belajar di komunitas-komunitas basis anak di beberapa tempat. Karena tingkat perkembangan anak menuntut medium yang lebih relevan maka Sanggar dipilih sebagai salah satu medium untuk belajar dan bermain. Awalnya Sanggar hanyalah bagian dari program advokasi Institut Sosial Jakarta, sebuah Lembaga non-Pemerintah. Tapi setelah enam tahun berproses dengan segala pasang surut, Sanggar Anak akar dinilai, sebagai gerakan pendidikan untuk anak pinggiran, sudah selayaknya berkembang sendiri. Dengan dasar penilaian itu, maka terhitung sejak akhir tahun 2000 Sanggar Anak akar sudah berdiri sebagai kelompok mandiri yang berlokasi di Jl. Inspeksi Saluran Jatiluhur No. 30, RT 07/RW 01 Cipinang Melayu - Gudang Seng, Jakarta Timur. Dengan dikelola oleh 5 pengurus harian, anak-anak, dan para volunteer yang bergabung dalam Lingkar Sahabat akar, yang kemudian berkembang menjadi Perkumpulan Sahabat akar.

Sebagai organisasi mandiri, Sanggar Anak akar bervisi mengembangkan model pendidikan anak sebagai gerakan budaya yang menghormati martabat dan menghargai pertumbuhan anak pinggiran sebagai manusia utuh. Dalam rangka mewujudkan visi tersebut, Sanggar Anak akar mengemban misi dengan membuka ruang dan memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk menjadi bagian dari masyarakat dalam membangun dunia yang lebih baik

Secara khusus dalam rangka mengemban visi misi tersebut, Sanggar Anak akar bertujuan untuk:

· Memfasilitasi pertumbuhkembangan anak menjadi manusia yang utuh; berkehendak bebas, berkemampuan untuk berpikir kritis, kreatif dan memiliki sikap solider terhadap lingkungan yang lebih baik

· Memfasilitasi pengembangan komunitas basis anak atau kelompok-kelompok yang memiliki perhatian pada upaya perlindungan hak-hak anak.
Ada beberapa bidang kerja yang saat ini diselenggarakan oleh Sanggar Anak akar, yaitu

1. Komunitas Basis

Komunitas Basis adalah kelompok anak-anak dalam jumlah tertentu di suatu wilayah (pemukiman) di Jakarta dan sekitarnya yang memiliki kegiatan intensif (program) yang dijalankan bersama dengan Sanggar Anak akar. Sampai saat ini ada 4 Komunitas Basis yang dilayani Sanggar Anak akar, yaitu Penas Lama, Cakung, Bantar Gebang dan Duren Sawit. Kegiatan di setiap komunitas diikuti rata-rata 30 anak. Bentuk Program intensif yang dilakukan Sanggar Anak akar di komunitas basis adalah;

Ø Dinamika kelompok belajar ketrampilan dasar yang meliputi kemampuan tulis, baca, hitung dan bicara
2. Komunitas Sanggar

Komunitas Sanggar adalah kelompok anak-anak baik yang tinggal di rumah Sanggar akar maupun yang intensif datang ke Sanggar untuk mengikuti berbagai keiatan atau program yag diselenggarakan di rumah Sanggar Anak akar. Anak-anak yang tinggal dan mengikuti kegiatan intensif di Sanggar berjumlah 60 anak. Kegiatan/program yang dijalankan di Komunitas Sanggar memberikan tekanan pada sifat kreatif, eksploratif dan produktif . Bentuk kegiatan belajar diantaranya adalah;

1. Kelas Akademik: Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Musik, Matematika, Sejarah

2. Kelas Kreatif: Musik Ensamble, Teater, Sinematografi, Jurnalistik, Seni rupa

3. Pengembangan Keterampilan

4. Kerumahtanggaan

5. Manajemen Organisasi dan Kepemimpinan

3. Publik

Publik adalah masyarakat secara umum maupun kelompok/organisasi masyarakat yang mungkin diajak bekerjasama dalam mengembangkan gerakan budaya yang menghormati hak anak-anak. Beberapa bentuk program diantaranya adalah;

1. Publikasi hasil karya anak-anak

2. Apresiasi Seni – Budaya

3. Diskusi/Seminar

Pendanaan dan Dukungan

Sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai bersama maka, untuk menjaga kelangsungan proses pendidikan anak yang mandiri, Sanggar akar lebih memprioritaskan pengadaan dana dan dukungan yang berasal dari masyarakat dan dari hasil usaha pengembangan swadaya ekonomi lain. Perkumpulan Sahabat akar merupakan sebuah organisasi nir-laba yang didirikan oleh anggota masyarakat yang berniat menyatakan dukungannya pada model pendidikan yang dikembangkan Sanggar Anak akar.

28. Sanggar Satu Untuk Semua

Sanggar Satu Untuk Semua adalah sebuah wadah tempat anak-anak berkumpul, bermain, dan berkarya yang berada di komunitas Anak Bantar Gebang, Kota Bekasi, Jawa Barat. Komunitas anak Bantar Gebang berasal dari latar belakang anak-anak yang hidup di lingkungan pembuangan sampah Bantar Gebang, sebagian mereka ada yang bersekolah dan ada juga yang tidak bersekolah. Kehidupan orang tua mereka juga beragam mulai dari petani, pemulung, tukang ojek, buruh bangunan, bahkan pedagang yang berjualan disekitar wilayah pembuangan sampah. Komunitas anak Sanggar Satu Untuk Semua merupakan sebuah kelompok independent tanpa pembiayaan dari lembaga manapun, namun tekad untuk mencapai sebuah kemajuan untuk tetap berkarya menyebabkan Sanggar Satu Untuk Semua tetap berdiri hingga saat ini. Pengadaan kebutuhan perlengkapan belajar untuk anak-anak seperti HVS, pensil warna, buku bacaan, makanan biasanya diperoleh dari sumbangan mahasiswa, lembaga sekolah, dan perorangan yang peduli dengan keadaan anak-anak di Bantar Gebang melalui jalur pertemanan. Selama ini Sanggar Satu Untuk Semua hanya dikenal dan diketahui oleh sebagian orang yang memiliki kepedulian terhadap permasalahan Anak saja baik ditinjau dari segi pendidikan, kesehatan, maupun kondisi lingkungan mereka berada.

Komunitas anak bantar Gebang berawal dari kepedulian atas dasar kemanusiaan, pada tahun 2003 sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat datang ke Bantar Gebang untuk membuat sebuah kelompok dampingan dengan tujuan membantu para anak untuk berani mengeluarkan suaranya, mengungkapan segala macam permasalahan yang mereka hadapi. Anak-anak dalam melakukan kegiatan sering berpindah-pindah mulai dari kebun-kebun, mushalla, teras rumah penduduk, pinggir sawah, dan rumah kosong yang dipinjamkan oleh penduduk. Pertengahan tahun 2005, salah satu relawan disana melakukan kerjasama dengan salah satu stasiun televisi swasta untuk menyalurkan beasiswa untuk anak Bantar Gebang. Sebagi salah satu upaya menindak lanjuti permasalahan pernikahan di usia muda bagi remja putri disana. Sebagai sumbangsih, maka stasiun televisi swasta tersebut membatu dalam bentuk pembangunan tempat kegiatan yang berasal dari limbah industri perusahaan mereka yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan ”SANGGAR SATU UNTUK SEMUA” yang berlokasi di Jl. Narogong – Bekasi, Pangkalan V, Kel. Sumur Batu Rt 04/03 No.39, Kec. Bantar Gebang – Bekasi, Jawa Barat. Pada akhir tahun 2005 dengan alasan bahwa anak-anak telah mandiri akhirnya lembaga tersebut berhenti melakukan pendampingan di wilayah Bantar Gebang, namun terlepas dari masalah itu hingga saat ini anak-anak tetap melakukan kegiatan walau tanpa pendampingan dari lembaga tersebut. Kegiatan anak berlangsung setiap hari minggu hal ini disebabkan keterbatasan waktu yang dimiliki pengajar yang lebih senang disebut ”teman bermain” bagi anak Bantar Gebang. Jenis kegiatan anak sangat bermacam-macam seperti bermain bersama, berdiskusi, bermusik, menari, berteater, bahasa Inggris, dan juga berkreatifitas membuat media ekspresi (mading, wayang kardus, lukisan karung, maket komunitas, daur ulang dll). Jenis kegiatan yang akan dilakukan setiap minggunya biasanya mengikuti keinginan dari komunitas anak itu sendiri.usia anak yang berkegiatan berkisar dari usia 3-17 tahun jumlah keseluruhan anak mencapai ±68 anak, akan tetapi yang sering aktif setiap minggunya sekitar ±30-35 anak karena sebagian mereka banyak yang harus membantu orang tua mereka.tetapi berapapun jumlah mereka tidak jadi masalah kegiatan tetap berlangsung seperti biasanya. Komunitas anak Bantar Gebang juga sering mendapat pembekalan mengenai gender, UU perlindungan anak, Narkoba dan HIV/AIDS dari hubungan pertemanan dengan lembaga lain. Di tingkatan orang tua sebagai salah satu langkah advokasi pernah dilakukan sosialisasi mengenai undang-undang perlindungan anak yang berkaitan dengan masalah perlakuan tindak kekerasan yang dialami oleh anak.

29. Sanggar Anak Roda (SAR)

Berawal dari dibangunnya perpustakaan Front Perjuangan Rakyat (FPR) yang terletak di Warung Jengkol yang kemudian terus berkembang dengan kegiatan – kegiatan anak lainnya, maka didirikanlah Sanggar Anak Roda pada tahun 1996 di perkampungan depan terminal Bus Pulo Gadung, tepatnya di Jl. Swadaya III RT.06 RW.02 No.4B, Kampung Warung Jengkol, Kel. Rawa Teratai, Cakung, Pulogadung – Jakarta Timur. Kegiatan – kegiatan yang diselenggarakan tidak dilakukan berdasarkan kelompok umur atau usia sekolah, melainkan bersama-sama. Semua anak yang mengikuti kegiatan di SAR masih sekolah formal, sanggar hanya memberi pelajaran dan keterampilan tambahan. Jumlah anak yang aktif daam kegiatan SAR sekitar 50-an anak.

Kegiatan di SAR antara lain kelompok belajar, teater, musik, dan vokal. Perpustakaan dan kelompok belajar tidak dijadwalkan secara khusus, bisa setiap hari jika anak menginginkan. Sedangkan untuk musik dilakukan setiap hari Rabu mulai pukul 19.30 sampai 21.00, dan teater hari Minggu pukul 09.00 sampai sore. Di SAR selain ruang belajar, juga dilengkapi dengan peralatan musik dan perpustakaan.

30. Saung Sararea

Sesuai dengan namanya, Saung Sararea, yang berarti rumah bersama, merupakan sanggar belajar yang didirikan dibawah naungan ELLSPAT bekerja sama dengan ILO IPEC untuk menyediakan kesempatan belajar dan tumbuh kembang yang lebih baik bagi anak-anak yang banyak bekerja sebagai pembuat alas kaki di kawasan Ciomas-Bogor. Mereka membutuhkan dukungan dari masyarakat luas, salah satunya di bidang informasi dan pendidikan. Salah satu tujuan Saung Saraea adalah memberikan sumbangan dalam peningkatan kesempatan belajar bagi anak-anak tersebut. Supaya harapan ini tercapai maka layanan tidak hanya diberikan kepada anak-anak melalui “Sararea Alit” tetapi juga untuk orang dewasa melalui “Sararea Ageung”.

Saung Sararea secara bertahap menyediakan ruang bagi anak-anak dan remaja untuk belajar, dan berkreasi sesuai dengan minat dan hobinya masing-masing. Kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan meliputi belajar calistung (baca, tulis, dan hitung), latihan rebana, pertemuan rutin penggerak remaja (per educator), pelatihan ketrampilan, pelatihan life skill, kuliah remaja, belajar pertanian organik, majalah dinding, dan penyediaan buku-buku perpustakaan. Sanggar belajar Saung Sararea berada di Kampung Babakan RT.04 RW.03 No.25, Desa Parakan, Kec. Ciomas, Bogor. Sanggar belajar ini dilengkapi dengan fasilitas komputer dan perrpustakaan. Sanggar-sanggar yag menjadi jaringan belajarnya adalah Sanggar Al-Hidayah, Sanggar Salma Jala, dan Sanggar Mekar Jaya, yang semuanya berlokasi di sekitar kawasan Ciomas, Bogor.

31. Kelompok Anak Mandiri (KAM)

Kelompok Anak Mandiri (KAM) merupakan sanggar belajar yang didirikan oleh komunitas para Ibu yang terkonsolidasi dalam Kelompok Perempuan Mandiri bekerjasama dengan ELSPPAT (sebagai LSM pendamping). Secara khusus KAM bertujuan untuk menyediakan kesempatan belajar dan tumbuh kembang yang lebih baik bagi anak-anak petani di wilayah Cijeruk – Bogor. Mereka membutuhkan dukungan dari masyarakat luas, salah satunya di bidang informasi dan pendidikan.

Merupakan komunitas anak dari para Ibu yang terkonsolidasi dalam Kelompok Perempuan Mandiri di wilayah Cijeruk – Bogor. Pendampingan KAM di wilayah Cijeruk ini dilakukan oleh Kelompok Perempuan Mandiri, yang menaungi 3 desa sebagai daerah pertanian, yaitu desa Geblug, Pangkalan, dan Palasari. Sedangkan anak – anak yang didampingi rata-rata seusia Sekolah Dasar (masih sekolah dan putus sekolah) berjumlah sekitar 150 anak berasal dari tiga desa tersebut.

Kegiatan yang selama ini berlangsung dalam pendampingan anak, adalah: belajar membaca, menulis, berhitung, dan tabungan pendidikan. Selama ini tempat untuk berkumpul dan belajar bersama berada di Kampung Geblug, Cijeruk – Bogor.

32. Yayasan Nanda Dian Nusantara (YNDN)

Berdiri sejak tahun 1985 di Jakarta, yang dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap persoalan anak dan pendidikan di Indonesia. Untuk mendukung kerjanya, YNDN menentukan Visinya yaitu: memberikan solusi terhadap persoalan anak, memberikan pengertian tentang pendidikan, dan memberikan sarana pendidikan, dan Misinya: mewujudkan anak menjadi aktif dan berkembang dalam kreativitasnya, melindungi hak asasi anak pinggiran.

Kegiatan pendampingan terpusat di Jl. Masjid No.6 Cipayung, Jakarta Timur, dengan melayani 5 komunitas anak yang jumlah sekitar 1000 anak tersebar di wilayah Jakarta, dengan didukung 15 orang pendamping. Kegiatan yang selama ini berlangsung adalah belajar mengajar, bengkel kreatifitas, dan bhakti sosial.

Secara khusus YNDN juga mengadakan kegiatan pelayanan ke masyarakat, seperti:

· Konsultasi dan penyuluhan tentang masalah anak

· Mengadakan pengobatan gratis

· Mengadakan sunatan masal

· Menyelenggarakan sekolah gratis

33. SOS Desa Taruna Jakarta

SOS Desa Taruna adalah sebuah lembaga pengasuhan Anak berbasis keluarga. Dimana SOS Desa Taruna ialah satu lembaga dengan prinsip memberi contoh suatu kehidupan keluarga yang utuh bagi anak-anak yang tidak mempunyai keluarga, anak yang kurang mampu, ditelantarkan oleh keluarganya dll. Awal SOS ini didirikan pada perang Dunia II, dimana pada saat itu anak-anak terlantar akibat kejamnya perang tersebut. Banyak anak, yatim piatu dan berkeliaran di kota-kota yang telah hancur akibat perang. Bapak Herman Gmeinner pendiri SOS Kinderdorf dengan dasar pemikiran bahwa anak-anak itu telah kehilangan orang tua yang mencintai mereka sehingga perlu dicarikan orang tua pengganti. Pertama kali didirikan SOS Kinderdorf Austria pada tahun 1949. Di Indonesia dengan nama SOS Desa Taruna Indonesia.

Kini SOS Desa Taruna pun berkembang lebih dari 130 negara di dunia, termasuk di Indonesia. SOS Desa Taruna di Indonesia pertamakali didirikan di Bandung, Lembang oleh Bapak DR. Agus Prawoto pada tahun 1972, kemudian di Jakarta, Cibubur tahun 1984. Di Semarang pada tahun 1985, di Bali tahun 1990, di Flores tahun 1995, Medan, Banda Aceh, Meulaboh pada tahun 2006. Cara pengasuhan di Indonesia semuanya sama dengan yang ada di negara lain / di Austria.

SOS Desa Taruna membuat anak merasa benar-benar tinggal dalam satu keluarga, disatukan dalam naungan lembaga yang mempersatukan anak dengan berbagai latar belakang dan merasa sebagai satu saudara satu sama lain.

Ada 4 prinsip dasar dalam SOS Desa Taruna yakni, Ibu Asuh, Kakak, Adik, Rumah dan Desa. Setiap anak memiliki Ibu Asuh yang tetap. Seorang Ibu mengambil peran keibuannya dengan mengasihi, mengasuh layaknya seorang Ibu kandung. Ibu Asuh tidak mengandung anak dalam janin namun di dalam hati nurani. Seorang Ibu asuh SOS tidak seperti Ibu-ibu di tempat lain, mereka mengasuh anak-anak yang ada di dalam SOS Desa Taruna dengan berbagai macam perilaku, karakter dan latar belakang yang berbeda satu sama lain. Anak-anak dilimpahkan rasa kasih sayang, rasa aman, dan kepercayaan diri mereka dengan sepenuhnya.

Dalam sebuah keluarga SOS Desa Taruna terdiri dari 6-10 anak, baik laki-laki maupun perempuan usia kakak adik dan berjenjang dengan seorang Ibu Asuh yang tinggal di dalam satu rumah. Anak-anak yang telah tinggal bersama di dalam rumah tersebut usianya berbeda satu sama lain dan mereka berusaha menciptakan suasana kekeluargaan layaknya keluarga kandung. Setiap keluarga menempati sebuah rumah sendiri yang permanent dengan ruang keluarga , ruang makan sebagai pusat kegiatan keluarga. Di dalam SOS terdiri dari 12-15 rumah keluarga dan biasanya terletak disebuah tempat yang indah dan tidak terpisah dari masyarakat. Khususnya SOS Desa Taruna Jakarta yang terletak di Jl. Karya Bhakti No.1, Cibubur- Jakarta Timur., tempatnya sangat sejuk dan nyaman dengan ditanami pepohonan yang indah dan subur. Disini terdapat 15 rumah keluarga dengan 15 ibu asuh dan ± 140 anak diasuh dan bina disini. Disini juga bukan hanya terdapat rumah keluarga tetapi juga tempat bagi anak-anak asuh untuk mengembangkan hobi dan prestasinya, disini juga disediakan fasilitas untuk menunjang kegiatan anak seperti : Lapangan basket, bola, volley, pendopo, perpustakaan, computer, tari, menyanyi dan musik. SOS juga mengajarkan kepada anak-anak bahwa mereka tak sekedar menadahkan tangan pada SOS, tetapi juga diajarkan untuk mandiri, berkreasi, berolahraga, bersosialisasi dan berkesenian agar dapat menghasilkan dana untuk kelangsungan kehidupan di dalam SOS Desa Taruna dan untuk hidup mereka nantinya.

34. Sanggar Garasi

Garasi yang berukuran 6 x 3.5 meter di rumah nomor 20 Jalan Kelapa Tinggi, Utan Kayu, Jakarta Timur tidak ada kendaraan bermesin tersimpan di sana. Hanya ada sedikit buku yang tersusun di atas papan-papan kecil, sumbangan dari beberapa teman, dan sebuah lori belanja berisi peralatan tulis. Itu adalah cerita setahun yang lalu, ketika Front Perjuangan Pemuda Indonesia masih menjadi penyewa rumah dua lantai sebagai sekretariat yang juga digunakan untuk kegiatan Sanggar Garasi.

Sanggar Garasi, berdiri pada tahun 2005, bermula dari kedatangan beberapa warga yang menanyakan aktivitas di sekretariat ini yang tidak pernah sepi selama 24 jam setiap hari. Dari silaturrahmi berkembang menjadi konseling persoaan-persoalan warga seputar lingkungan dan pendidikan. Anak-anak banyak yang dianggap bodoh oleh pihak sekolah. Sedangkan orang tua mereka tidak memiliki “uang lebih” untuk membiayai pendidikan tambahan atau kursus-kursus, baik yang diselenggarakan oleh pihak sekolah maupun lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Mayoritas warga bekerja di sektor informal, seperti pedagang kaki lima, buruh cuci, dan tukang parkir di Pasar Pramuka.

Anak-anak yang aktif belajar dan mengikuti kegiatan di Sanggar Garasi sehari-harinya mencapai 25 anak. Kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan diantaranya mengerjakan pekerjaan rumah dari guru di sekolah, menyanyi, membaca, menggambar, membaca cerita dan berbagi kisah tentang kehidupannya.

Apa itu anak pinggiran?


"Anak Pinggiran" adalah anak-anak yang oleh suatusebab tidak mendapatkan tempat yang layak di dalam derasnya arus kehidupan masyarakat. Mereka adalah anak-anak yang peri kehidupannya nyaris tidak diperhitungkan, tidak mendapatkan prioritas dalam APBN dan APBD oleh para penyelenggara negara. Mereka adalah semua anak yang oleh kekuasaan ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan, telah direnggut atau diasingkan hak-hak dasarnya sebagai anak.

Sebagian dari mereka adalah anak-anak yang sering disebut sebagai anak jalanan, sebagian dari mereka adalah buruh anak di pabrik-pabrik atau di perkebunan, atay pengrajin cilik. Juga sebagian dari mereka adalah pengamen, joki "three-in-one", penyemir sepat, pedagang asongan,pengais sampah, dalam usia antara 5 sampai 17 tahun. BAnyak diantara mereka tidak lagi mempunyai tempat tinggal sama sekali, bernaung di langit terbuka,sebagian dari mereka masih tinggal dan bergabung dengan keluarga mereka, dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, mungkin tinggal dirumah kardus diantara onggokan sampah, di gerobak dagang, di emper-emper toko, di rumah-rumah bambu di pinggir kali. Banyak diantara mereka adalah anak-anak korban gusuran, yang peri kehidupannya senantiasa digeser-geser, senantiasa mengalami ketidakpastian, entah karena masalah ketiadaan tempat tinggal, pekerjaan orang tuanya yang miskin, pranata sosial yang tercerai-berai dan tercerabut ataukarena masalah tempat dan lingkungan pendidikan yang tidak pasti atau bahkan tidak ada. Memanga sebagian dari mereka masih bisa bersekolah dengan uang hasil jerih payah mereka sendiri atau orangtuanya yang miskin, namun banyak juga dari mereka yang sudah tidak mampu lagi bersentuhan dengan bangku sekolah bahkan sejak usianya yang sangat dini. Bukan merupakan rahasia lagi di negeri ini bahwa sebagian dari mereka ini karena kemiskinan orang tua dan lingkungannya, menjadi penderita " kelaparan tersembunyi" ( hidden HUnger) Atau bahkan busung lapar! Diantara semua kemungkinan itu, kekerasan sistematik yang berasal dari negara yang cukup terselubung karena terejawatahkan dalam kebijakan-kebijakan publik pemerintah (pemda) yang jelas-jelas tidak melindungi dan tidak berpihak pada mereka!

Slide